Nov 25, 2015

Materi PKn Kelas VIII Bab III-B

MATERI PKN KELAS VIII
BAB III PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL



B. Proses Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan Nasional

1. Prinsip/Asas Peraturan Perundang-Undangan Nasional

Lembaga Administrasi Negara menyatakan, bahwa prinsip-prinsip yang mendasari pembentukan peraturan perundang-undangan adalah :
  1. Dasar yuridis (hukum) sebelumnya yang selalu peraturan perundang-undangan. Penyusunan peraturan perundang-undangan harus mempunyai landasan yuridis yang jelas, tanpa landasan yuridis yang jelas, perundang-undangan yang disusun tersebut dapat batal demi hukum. Adapun yang dijadikan landasan yuridis adalah selalu peraturan perundang-undangan, sedangkan hukum lain hanya dapat dijadikan bahan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan tersebut.
  2. Hanya peraturan perundang-undangan tertentu saja yang dapat dijadikan landasan yuridis. Tidak semua peraturan perundang-undangan dapat dijadikan landasan yuridis. Peraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan landasan yuridis hanyalah peraturan yang sederajat atau lebih tinggi dan terkait langsung dengan peraturan perundang-undangan yang akan dibuat.
  3. Peraturan perundang-undangan yang masih berlaku hanya dapat dihapus, dicabut, atau diubah oleh peraturan perundang-undangan oleh yang sederajat atau yang lebih tinggi. Misalnya, dengan dikeluarkannya UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, maka undang-undang sebelumnya yakni UU No. 2 tahun 1989 tentang Sisdiknas dinyatakan tidak berlaku.
  4. Peraturan perundang-undangan baru mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang lama. Dengan dikeluarkannya suatu peraturan perundang-undangan yang baru, maka apabila telah ada peraturan perundang-undangan yang sejenis dan sederajat yang telah diberlakukan, maka secara otomatis peraturan perundang-undangan yang lama itu akan dinyatakan tidak berlaku. Prinsip ini dalam bahasa hukum dikenal dengan istilah lex pesteriori derogate lex priori.
  5. Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. Peraturan perundang-undangan yang secara hierarkhi lebih rendah kedudukannya dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, maka secara otomatis dinyatakan batal demi hukum. Misalnya, suatu keputusan menteri tidak dibenarkan bertentangan dengan PP, PP tidak boleh bertentangan dengan UU, dan UU tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945.
  6. Peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang bersifat umum. Apabila terjadi pertentangan antara peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus dengan yang bersifat umum yang sederajat tingkatannya, maka yang dimenangkan adalah yang bersifat khusus. Prinsip ini dalam bahasa hukum dikenal dengan lex specialist lex generalist. Misalnya, bila ada masalah korupsi dan terjadi pertentangan antara UU No. 20 tahun 2001 tentang Korupsi dengan KUHP, maka yang berlaku adalah UU No. 20 tahun 2001.
  7. Setiap jenis peraturan perundang-undangan materinya berbeda. Setiap peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan harus mengatur hanya satu obyek tertentu saja. Contoh : UU No. 4 tahun 2004 yang mengatur masalah Kehakiman, UU No. 5 tahun 2004 mengatur Mahkamah Agung, UU No. 24 tahun 2003 mengatur Mahkamah Konstitusi. Jadi sekalipun ketiga lembaga tersebut sama-sama bergerak di bidang hukum, namun materinya berbeda, sehingga harus diatur oleh undang-undang yang berbeda.
Dalam Pasal 5 UU No. 12 tahun 2011 disebutkan asas-asas dalam pembentukan peraturan perundangan yaitu :
  1. Kejelasan tujuan, adalah bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai
  2. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat, adalah setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga negara atau pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang. Peraturan perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat oleh lembaga yang tidak berwewenang
  3. Kesesuaian antara jenis, hirarki, dan materi muatan, adalah bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan
  4. Dapat dilaksanakan, adalah bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis.
  5. Kedayagunaan dan kehasilgunaan, adalah bahwa setiap peraturan perundang undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
  6. Kejelasan rumusan, adalah bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
  7. Keterbukaan, adalah bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam pembentukan.
Selanjutnya ditegaskan dalam pasal 6 bahwa materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan asas :
  1. Pengayoman adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan untuk menciptakan ketenteraman masyarakat.
  2. Kemanusiaan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.
  3. Kebangsaan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang majemuk dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  4. Kekeluargaan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.
  5. Kenusantaraan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  6. Bhinneka Tunggal Ika adalah bahwa materi muatan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah serta budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
  7. Keadilan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara.
  8. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh memuat hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial.
  9. Ketertiban dan kepastian hukum adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum.
  10. Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu, masyarakat dan kepentingan bangsa dan negara.

2. Proses Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan Nasional

Peraturan perundang-undangan yang telah disebutkan dalam tata urutan perundang-undangan yang diatur dalam UU Nomor 12 tahun 2011 di atas, secara lebih jelas sebagai berikut :

2.1. UUD 1945

UUD 1945 merupakan hukum dasar dalam peraturan perundangan-undangan. Sebagai hukum, maka UUD mengikat setiap warga negara dan berisi norma dan ketentuan yang harus ditaati. Sebagai hukum dasar maka UUD 1945 merupakan sumber hukum bagi peraturan perundangan, dan merupakan hukum tertinggi dalam tata urutan peraturan perundangan di Indonesia. Secara historis UUD 1945 disusun oleh BPUPKI dan ditetapkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945.


MPR berwewenang mengubah dan menetapkan UUD sesuai amanat pasal 3 ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Perubahan terhadap UUD 1945 sudah dilakukan sebanyak 4 (empat) kali perubahan. Perubahan ini dilakukan sebagai jawaban atas tuntutan reformasi dalam sistem pemerintahan di Indonesia. Tata cara perubahan UUD ditegaskan dalam pasal 37 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, secara singkat sebagai berikut :
  1. Usul perubahan pasal-pasal diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR dan disampaikan secara tertulis yang memuat bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya.
  2. Sidang MPR untuk mengubah pasal-pasal dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 anggota MPR.
  3. Putusan untuk mengubah disetujui oleh sekurang-kurangnya 50% ditambah satu dari anggota MPR.
  4. Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan.
Perlu juga kalian pahami bahwa dalam perubahan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, terdapat beberapa kesepakatan dasar, yaitu :
  1. Tidak mengubah Pembukaaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  2. Tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  3. Mempertegas sistem pemerintahan presidensial.
  4. Penjelasan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang memuat hal-hal bersifat normatif (hukum) akan dimasukkan ke dalam Pasal-pasal.
  5. Melakukan perubahan dengan cara adendum, artinya menambah pasal perubahan tanpa menghilangkan pasal sebelumnya. Tujuan perubahan bersifat adendum agar untuk kepentingan bukti sejarah.

2.2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR)

Ketika MPRS dan MPR masih berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara salah satu produk hukum MPR adalah Ketetapan MPR. Ketetapan MPR adalah putusan majelis yang memiliki kekuatan hukum mengikat ke dalam dan ke luar majelis. Mengikat ke dalam berarti mengikat kepada seluruh anggota majelis. Sedangkan mengikat ke luar berarti setiap warga negara, lembaga masyarakat dan lembaga negara terikat oleh Ketetapan MPR.


Yang dimaksud dengan “Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat” dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003.
Pasal 2 Ketetapan MPR ini menegaskan bahwa beberapa ketetapan MPRS dan MPR yang masih berlaku dengan ketentuan, adalah :
  1. Ketetapan MPRS RI Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI), Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah NKRI bagi PKI dan Larangan setiap kegiatan untuk menyebarluaskan atau mengembangkan paham atau ajaran komunisme/Marxisme-Leninisme.
  2. Ketetapan MPR RI Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam rangka Demokrasi Ekonomi.
  3. Ketetapan MPR RI Nomor V/MPR/1999 tentang Penentuan Pendapat di Timor Timur.
Sedangkan Pasal 4 ketetapan MPR ini mengatur ketetapan MPRS/MPR yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya undang-undang, yaitu :
  1. Ketetapan MPRS RI Nomor XXIX/MPRS/1966 tentang Pengangkatan Pahlawan Ampera.
  2. Ketetapan MPR RI Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
  3. Ketetapan MPR RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan otonomi daerah, pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam kerangka NKRI.
  4. Ketetapan MPR RI Nomor III/MPR/2000 tentang sumber hukum dan tata urutan peraturan perundang-undangan. Ketetapan ini saat ini sudah tidak berlaku, karena sudah ditetapkan undang-undang yang mengatur tentang hal ini.
  5. Ketetapan MPR RI Nomor V/MPR/2000 tentang Pemantapan persatuan dan kesatuan nasional.
  6. Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri.
  7. Ketetapan MPR RI Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri.
  8. Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika kehidupan berbangsa.
  9. Ketetapan MPR RI Nomor VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan.
  10. Ketetapan MPR RI Nomor VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi arah kebijakan pemberantasan dan pencegahan KKN.
  11. Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
2.3. Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (UU/Perpu)

Undang-Undang adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPR dengan persetujuan bersama Presiden. Sedangkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah peraturan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa. Kedua bentuk peraturan perundangan ini memiliki kedudukan yang sederajat. DPR merupakan lembaga negara yang memegang kekuasaan membentuk undang-undang, berdasarkan pasal 20 ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Namun kekuasaan ini harus dengan persetujuan Presiden.


Suatu Rancangan Undang-Undang (RUU) dapat diusulkan oleh DPR atau Presiden. Dewan Perwakilan Daerah juga dapat mengusulkan RUU tertentu kepada DPR. Proses pembuatan undang-undang apabila RUU diusulkan oleh DPR sebagai berikut :
  1. DPR mengajukan RUU secara tertulis kepada Presiden.
  2. Presiden menugasi menteri terkait untuk membahas RUU bersama DPR.
  3. Apabila RUU disetujui bersama DPR dan Presiden, selanjutnya disahkan oleh Presiden menjadi undang-undang.
Proses pembuatan undang-undang apabila RUU diusulkan oleh Presiden sebagai berikut:
  1. Presiden mengajukan RUU secara tertulis kepada Pimpinan DPR, berikut memuat menteri yang ditugaskan untuk membahas bersama DPR.
  2. DPR bersama Pemerintah membahas RUU dari Presiden.
  3. Apabila RUU disetujui bersama DPR dan Presiden, selanjutnya disahkan oleh Presiden menjadi undang-undang.
Proses pembuatan undang-undang apabila RUU diusulkan oleh DPD sebagai berikut :
  1. DPD mengajukan usul RUU kepada DPR secara tertulis.
  2. DPR membahas RUU yang diusulkan oleh DPD melalui alat kelengkapan DPR.
  3. DPR mengajukan RUU secara tertulis kepada Presiden.
  4. Presiden menugasi menteri terkait untuk membahas RUU bersama DPR.
  5. Apabila RUU disetujui bersama DPR dan Presiden, selanjutnya disahkan oleh Presiden menjadi undang-undang.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) adalah peraturan perundangan yang dikeluarkan oleh Presiden karena keadaan genting dan memaksa. Dengan kata lain, diterbitkannya Perppu bila keadaan dipandang darurat dan perlu payung hukum untuk melaksanakan suatu kebijakan pemerintah. Perppu diatur dalam UUD 1945 pasal 22 ayat 1, 2, dan 3,yang memuat ketentuan sebagai berikut :
  1. Presiden berhak mengeluarkan Perppu dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa.
  2. Perppu harus mendapat persetujuan DPR dalam masa persidangan berikutnya.
  3. Apabila Perppu tidak mendapat persetujuan DPR, maka Perppu harus dicabut. Sedangkan apabila Perppu mendapat persetujuan DPR maka Perppu ditetapkan menjadi undang-undang.
Contoh Perppu antara lain Perpepu No. 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Perpepu tersebut kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Coba kamu pelajari adakah Perppu lainnya yang telah dijadikan undang-undang.

2.4. Peraturan Pemerintah (PP)

Peraturan Pemerintah adalah peraturan perundangan-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk melaksanakan Undang-Undang sebagaimana mestinya. Hal ini sesuai dengan UUD 1945 pasal 5 ayat (2). Peraturan pemerintah ditetapkan oleh Presiden sebagai pelaksana kepala Pemerintahan. Contoh dari Peraturan Pemerintah adalah PP No. 32 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan untuk melaksanakan UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Tahapan penyusunan Peraturan Pemerintah sebagai berikut :
  1. Tahap perencanaan rancangan Peraturan Pemerintah (PP) disiapkan oleh kementerian dan/atau lembaga pemerintah bukan kementerian sesuai dengan bidang tugasnya.
  2. Tahap penyusunan rancangan PP, dengan membentuk panitia antarkementerian dan/atau lembaga pemerintah bukan kementerian.
  3. Tahap penetapan dan pengundangan, PP ditetapkan Presiden (Pasal 5 ayat (2) UUD 1945) kemudian diundangkan oleh Sekretaris Negara.

2.5. Peraturan Presiden (Perpres)

Peraturan Presiden adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh untuk menjalankan perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan.
Proses penyusunan Peraturan Presiden ditegaskan dalam pasal 55 UU Nomor 12 Tahun 2011, yaitu :
  1. Pembentukan panitia antar kementerian dan/atau lembaga pemerintah nonkementerian oleh pengusul.
  2. Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan Presiden dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
  3. Pengesahan dan penetapan oleh Presiden.

2.6. Peraturan Daerah Provinsi

Peraturan Daerah (Perda Provinsi) adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPRD provinsi dengan persetujuan bersama gubernur. Peraturan Daerah dibuat dengan untuk melaksanakan peraturan perundangan yang lebih tinggi. Perda juga dibuat dalam rangka melaksanakan kebutuhan daerah. Perda tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Pemerintah pusat dapat membatalkan Perda yang nyata-nyata bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
Proses penyusunan Peraturan Daerah Provinsi sesuai UU Nomor 12 Tahun 2011, bahwa Rancangan perda provinsi dapat diusulkan oleh DPRD Provinsi atau Gubernur.
Apabila rancangan diusulkan oleh DPRD Provinsi maka proses penyusunan adalah :
  1. DPRD Provinsi mengajukan rancangan perda kepada Gubernur secara tertulis.
  2. DPRD Provinsi bersama Gubernur membahas rancangan perda Provinsi.
  3. Apabila rancangan perda memperoleh persetujuan bersama, maka disahkan oleh Gubernur menjadi Perda Provinsi.
Apabila rancangan diusulkan oleh Gubernur maka proses penyusunan adalah :
  1. Gubernur mengajukan rancangan Perda kepada DPRD Provinsi secara tertulis.
  2. DPRD Provinsi bersama Gubernur membahas rancangan Perda Provinsi.
  3. Apabila rancangan Perda memperoleh persetujuan bersama, maka disahkan oleh Gubernur menjadi Perda Provinsi.

2.7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten/Kota adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPRD Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota. Perda dibentuk sesuai dengan kebutuhan daerah yang bersangkutan, sehingga peraturan daerah dapat berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah yang lainnya.
Proses penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sesuai UU Nomor 12 Tahun 2011, bahwa Rancangan Perda kabupaten/kota dapat diusulkan oleh DPRD Kabupaten/Kota atau Bupati/Walikota Gubernur.
Apabila rancangan diusulkan oleh DPRD Kabupaten/Kota maka proses penyusunan adalah :
  1. DPRD Kabupaten/Kota mengajukan rancangan perda kepada Bupati/Walikota secara tertulis.
  2. DPRD Kabupaten/Kota bersama Bupati/Walikota membahas rancangan perda Kabupaten/Kota.
  3. Apabila rancangan perda memperoleh persetujuan bersama, maka disahkan oleh Bupati/Walikota menjadi Perda Kabupaten/Kota.
Apabila rancangan diusulkan oleh Bupati/Walikota maka proses penyusunan adalah :
  1. Bupati/Walikota mengajukan rancangan perda kepada DPRD Kabupaten/Kota secara tertulis.
  2. DPRD Kabupaten/Kota bersama Bupati/Walikota membahas rancangan perda Kabupaten/Kota.
  3. Apabila rancangan perda memperoleh persetujuan bersama, maka disahkan oleh Bupati/Walikota menjadi Perda Kabupaten/Kota.

3. Lembaga yang Berwenang dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan Nasional

Sebagaimana telah ditegaskan pada pasal 1 ayat (2) UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang. Jadi untuk setiap jenis peraturan perundang-undangan menunjukkan lembaga atau pejabat yang berwenang membuatnya. Untuk lebih jelasnya dapat kita cermati bagan berikut ini.

Peraturan
Perundang-Undangan
Lembaga/Pejabat
Yang Berwenang Membuat
Dasar Hukum
UUD 1945
MPR
Pasal 3 ayat (1) UUD 1945
Tap MPR
MPR

UU/PERPU
DPR dan Presiden
Pasal 20 UUD 1945

Peraturan Pemerintah
Presiden
Pasal 5 ayat (2) UUD 1945

Peraturan Presiden
Presiden

Peraturan Daerah
DPRD dan Kepala Daerah
Pasal 18 ayat (6) UUD 1945







No comments:

Post a Comment