Nov 21, 2015

Materi PKn Kelas VIII Bab II-B

MATERI PKN KELAS VIII
BAB II KONSTITUSI DI INDONESIA



B. Penyimpangan-Penyimpangan Terhadap Konstitusi

1. Indonesia Negara Konstitusional

Negara Indonesia adalah negara konstitusional, yaitu negara yang berdasarkan pada konstitusi, tidak bersifat absolutism yang berdasarkan pada kekuasan mutlak. Oleh karena itu pemerintahan Indonesia merupakan pemerintahan yang konstitusional, artinya pemerintahan yang berdasarkan pada konstitusi atau Undang-Undang Dasar, yakni UUD 1945.
Indonesia sebagai negara konstitusional sebagaimana ditegaskan dalam UUD 1945 yaitu :
  1. Pasal 1 ayat (2) berbunyi, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.
  2. Pasal 4 ayat (1) berbunyi, “Presiden RI memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”.
  3. Dalam Penjelasan disebutkan, “Pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutism (kekuasaan yang tidak terbatas)”.
Negara konstitusional memiliki konstitusi yang bercirikan :
  1. Membatasi kekuasaan pemerintah.
  2. Menjamin hak asasi manusia dan hak warga negara.

2. Sistem Ketatanegaraan Indonesia berdasarkan UUD 1945

Berdasarkan UUD 1945 setelah amandemen secara terperinci sistem ketatanegaraan Indonesia adalah sebagai berikut :
  1. Bentuk negara Indonesia adalah kesatuan sedangkan bentuk pemerintahan adalah republik (pasal 1 ayat 1).
  2. Negara Indonesia adalah negara demokrasi yakni kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD (pasal 1 ayat 2).
  3. Negara Indonesia adalah negara hukum (pasal 1 ayat 3).
  4. Pemerintahan berdasarkan atas sistem konstitusi (hukum dasar) tidak bersifat absolutism (kekuasaan yang tidak terbatas). (Penjelasan).
  5. Sistem pemerintahan adalah presidensiil. Presiden berkedudukan sebagai kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan (pasal 4 ayat 1). Presiden dan wakil presiden dipilih rakyat secara langsung dalam satu paket (pasal 6.A ayat 1).
  6. Kekuasaan kepala negara tidak tak terbatas artinya kekuasaan kepala negara (presiden) memang besar, tetapi tetap ada batasnya antara lain UUD dan berbagai bentuk peraturan perundang-undangan lainnya (pasal 10 – 15).
  7. Sebagai kepala pemerintahan, presiden membentuk kabinet (pasal 17)
  8. DPD adalah perwakilan dari daerah provinsi yang anggotanya dipilih oleh rakyat di daerah yang bersangkutan (pasal 22.C).
  9. Selain DPR dan DPD terdapat MPR yang memiliki jabatan selama 5 tahun (Pasal 2 dan 3).
  10. Kekuasaan membentuk undang-undang (legislatif) adalah DPR. Selain itu DPR menetapkan anggaran belanja negara dan mengawasi jalannya pemerintahan. (pasal 20.A)
  11. Kekuasaan yudikatif berada pada MA dan badan peradilan yang berada di bawahnya serta sebuah Mahkamah Konstitusi (pasal 24 ayat 2) dan juga Komisis Yudisial (pasal 24.B).
  12. Pemerintah daerah terdapat di daerah provinsi dan kabupaten/kota (pasal 18).
  13. Pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD dan DPRD provinsi serta DPRD kabupaten/kota serta memilih paket presiden dan wakil presiden (pasal 22.E ayat 2).
  14. Indonesia menjalankan otonomi daerah yang nyata, luas dan bertanggung-jawab (pasal 18 ayat 5)
  15. Sistem kepartaian adalah multi partai.

3. Penyimpangan terhadap UUD 1945 pada masa Orde Lama (1945 – 1965)

Selama pemerintahan Orde Lama (pemerintahan Soekarno) sejak awal kemerdekaan 1945 hingga 1965 terdapat beberapa penyimpangan terhadap UUD 1945 yang dapat kita temui dalam tiga periode yaitu :

3.1. Periode tahun 1945 – 1949 (UUD 1945)
  1. Keluarnya Maklumat Wakil Presiden Nomor : X (baca: eks) tanggal 16 Oktober 1945 yang mengubah fungsi Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP yang dibentuk PPKI pada tanggal 22 Agustus 1945) dari pembantu presiden menjadi badan yang diserahi kekuasaan legislatif dan ikut serta menetapkan GBHN sebelum terbentuknya MPR, DPR dan DPA. Padahal fungsi tersebut seharusnya dilakukan oleh lembaga DPR dan MPR. Hal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 pasal 4 Aturan Peralihan yang berbunyi, “Sebelum MPR, DPR dan DPA terbentuk, segala kekuasaan dilaksanakan oleh Presiden dengan bantuan sebuah komite nasional”.
  2. Keluarnya Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945 berdasarkan usul Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP) yang merubah sistem pemerintahan presidensial menjadi sistem pemerintahan parlementer. Hal ini bertentangan dengan pasal 4 ayat (1) dan pasal 17 UUD 1945.
3.2. Periode tahun 1949 – 1950 (Konstitusi RIS)

Bertepatan dengan pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda, maka Konstitusi RIS diberlakukan sejak tanggal 27 Desember 1945. Dengan berlakunya Konstitusi RIS jelas terdapat penyimpangan terhadap UUD 1945 yang pada saat itu hanya berlaku di negara bagian RI yang wilayahnya meliputi Jawa dan Sumatera dengan ibu kota Yogyakarta. Penyimpangan terhadap UUD 1945 antara lain :
  1. Berubahnya bentuk negara kesatuan menjadi bentuk negara serikat atau federal. Hal ini berdasarkan ketentuan Konstitusi RIS pasal 1 ayat (1) yang berbunyi, “RIS yang merdeka dan berdaulat adalah negara hukum yang demokratis dan berbentuk federasi”. Hal ini bertentangan dengan UUD 1945 pasal 1 ayat (1) yang berbunyi, “Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik”.
  2. Berubahnya sistem pemerintahan presidensil menurut UUD 1945 menjadi sistem parlementer, sebagaimana diatur dalam pasal 118 ayat (1) dan (2) Konstitusi RIS. Pada ayat (1) ditegaskan bahwa, “Presiden tidak dapat diganggu gugat”. Artinya, Presiden tidak dapat dimintai pertanggung-jawaban atas tugas-tugas pemerintahan. Sebab, Presiden adalah kepala negara, tetapi bukan kepala pemerintahan. Hal ini bertentangan dengan UUD 1945 pasal 4 ayat (1) yang berbunyi, “Presiden RI memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD”.

3.3. Periode tahun 1950 – 1959 (UUDS 1950)

Pada tanggal 20 Juli 1950 Pemerintah RIS dan RIS menyetujui Rancangan UUDS yang telah disusun oleh kedua belah pihak. Rancangan UUDS ini kemudian mendapat pengesahan dari DPR RIS dan BP-KNIP. Pada tanggal 15 Agustus 1950 Presiden Soekarno di hadapan rapat gabungan DPR dan Senat menandatangani naskah UU Federasi No. 7 tahun 1950 yang memuat perubahan Konstitusi RIS menjadi UUDS 1950 yang mulai berlaku sejak tanggal 17 Agustus 1950.
Sejak berlakunya UUDS 1950 bentuk negara kembali menjadi negara kesatuan. Hal ini terdapat dalam pasal 1 ayat (1) UUDS 1950 yang berbunyi, “RI yang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum yang demokratis dan berbentuk kesatuan”.
Namun demikian sistem pemerintahan yang dianut masih sistem pemerintahan parlementer, sebagaimana dinyatakan dalam pasal 83 ayat (1) UUDS 1950 bahwa, “Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat diganggu gugat”. Kemudian pada ayat (2) disebutkan, “Menteri-menteri bertanggung-jawab atas seluruh kebijakan pemerintah, baik bersama-sama untuk seluruhnya maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri”. Hal ini berarti yang bertanggung jawab atas seluruh kebijakan pemerintahan adalah menteri-menteri yang bertanggung jawab kepada parlemen atau DPR.

3.4. Periode tahun 1959 – 1966 (UUD 1945 pasca Dekrit)

Dengan dasar yang kuat dan dukungan dari sebagian besar rakyat, pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang isinya yaitu :
  1. Pembubaran Konstituante.
  2. Berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950.
  3. Pembentukan MPRS yang terdiri dari anggota-anggota DPR ditambah utusan daerah dan golongan, serta DPAS akan diselenggarakan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Dekrit inilah yang menjadi dasar hukum berlakunya kembali UUD 1945. Namun demikian pelaksanaan UUD 1945 pada masa ini tercatat ada beberapa penyimpangan, antara lain :
  1. Diterapkannya demokrasi terpimpin yang pelaksanaannya jauh menyimpang dari ketentuan Pancasila dan UUD 1945.
  2. Presiden telah mengeluarkan produk peraturan dalam bentuk Penetapan Presiden, yang hal itu tidak dikenal dalam UUD 1945.
  3. MPRS dengan Ketetapan No. I/MPRS/1960 telah menetapkan Pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1959 yang berjudul Penemuan Kembali Revolusi Kita (Manifesto Politik RI) sebagai GBHN yang bersifat tetap.
  4. Pimpinan lembaga-lembaga negara diberi kedudukan sebagai menteri-menteri negara, yang berarti menempatkannya sejajar dengan pembantu presiden.
  5. Hak budget tidak berjalan, karena setelah tahun 1960 pemerintah tidak mengajukan RUU APBN untuk mendapat persetujuan DPR sebelum berlakunya tahun anggaran yang bersangkutan.
  6. Pada tanggal 5 Maret 1960, melalui Penetapan Presiden No. 3 tahun 1960, Presiden membubarkan anggota DPR hasil Pemilu 1955. Kemudian melalui Penetapan Presiden No. 4 tahun 1960 tanggal 24 Juni 1960 dibentuklah DPR Gotong-Royong (DPR-GR) yang anggotanya diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Hal ini bertentangan dengan UUD 1945 pasal 19 ayat (1) yang menyatakan, “Susunan DPR ditetapkan dengan undang-undang”. Kemudian Penjelasan UUD 1945 tentang sistem pemerintahan negara RI menyatakan, “Kedudukan DPR adalah kuat. Dewan ini tidak dapat dibubarkan oleh Presiden”.
  7. Dibentuknya MPRS yang seluruh anggotanya diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Hal ini jelas bertentangan dengan UUD 1945 yakni dengan :
  8. 1) Pasal 1 ayat (2) yang menyatakan, “Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR”.
    2) Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan, “MPR terdiri atas anggota-anggota DPR ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang”.
    3) Penjelasan UUD 1945 tentang pokok-pokok sistem pemerintahan negara RI yang menyatakan, “Kekuasaan negara tertinggi di tangan MPR (Die Gezamte Staatgewalt liegi allein bei der Majelis)”. Majelis ini memegang kekuasaan negara tertinggi, sedangkan Presiden harus menjalankan haluan negara yang ditetapkan oleh MPR, serta presiden diangkat oleh Majelis, bertindak dan bertanggung-jawab kepada MPR
  9. MPRS mengangkat Ir. Soekarno sebagai Presiden seumur hidup melalui Ketetapan Nomor III/MPRS/1963. Hal ini sangat bertentangan dengan pasal 7 UUD 1945 yang menyatakan, “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali”.
  10. Kedaulatan rakyat dan semua kekuasaan negara, baik eksekutif, legislatif dan yudikatif ada dalam satu tangan, yaitu dalam kekuasaan Presiden Soekarno. Hal ini jelas bertentangan dengan UUD 1945 dimana terdapat pembagian kekuasaan eksekutif (presiden), legislatif (DPR) dan Yudikatif (MA).

4. Penyimpangan terhadap UUD 1945 pada masa Orde Baru (1966 – 1998)

Masa Orde Baru atau masa pemerintahan Soeharto ditandai dengan dikeluarkannya Surat Perintah tanggal 11 Maret 1966 oleh Presiden Soekarno kepada Letjen Soeharto, yang kemudian dikenal dengan sebutan Supersemar. Di masa Orde Baru inipun tercatat beberapa penyimpangan terhadap UUD 1945, antara lain :
  1. Dalam prakteknya kekuasaan negara bertumpu pada kekuasaan Presiden Soeharto sejalan dengan tidak berjalannya fungsi kontrol dari MPR dan DPR.
  2. MPR berketetapan tidak berkehendak dan akan melakukan perubahan terhadap UUD 1945 serta akan melaksanakannya secara murni dan konsekuen (Pasal 104 Ketetapan MPR Nomor I/MPR/1983 tentang Tata Tertib MPR). Hal ini bertentangan dengan pasal 3 UUD 1945 yang memberikan kewenangan kepada MPR untuk menetapkan UUD dan GBHN, serta pasal 37 yang memberikan kewenangan kepada MPR untuk mengubah UUD.
  3. MPR mengeluarkan ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum yang mengatur tata cara perubahan UUD yang tidak sesuai dengan pasal 37 UUD 1945.
  4. Umumnya menteri menjadi anggota MPR, bahkan gubernur otomatis menjadi anggota MPR dari utusan daerah. Hal ini tidak sesuai dengan apirasi rakyat, karena di satu pihak menteri dan gubernur adalah pelaksana pemerintahan yang berada di bawah Presiden, tetapi di pihak lain mereka menjadi anggota MPR yang harus menilai pertanggung-jawaban Presiden.

5. Penyimpangan terhadap UUD 1945 pada masa Orde Reformasi (1998 – Sekarang)

Peristiwa tanggal 21 Mei 1998 dianggap sebagai momentum penting dalam ketatanegaraan Indonesia, karena pada saat itu telah berakhir kekuasaan Orde Baru dan diganti dengan Orde Reformasi.
Di masa Orde Reformasi inilah UUD 1945 telah mengalami perubahan sebanyak empat tahap, yakni tahun 1999, 2000, 2001 dan 2002. UUD 1945 hasil perubahan belum begitu lama dilaksanakan, karena itu keterlaksanaannya belum banyak dipersoalkan. Lebih-lebih mengingat agenda reformasi itu sendiri antara lain adalah perubahan (amandemen) UUD 1945.
Namun demikian, terdapat ketentuan UUD 1945 hasil amandemen yang belum dapat dipenuhi oleh pemerintah, yaitu anggaran pendidikan dalam APBN dan APBD yang belum mencapai 20%. Hal ini dianggap bertentangan dengan pasal 31 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan, “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN serta dari APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”. Akan tetapi mulai tahun 2009 ini Pemerintah Pusat telah menentukan anggaran pendidikan sebanyak 20% dalam APBN, maka tinggal menunggu kebijakan daerah-daerah tentang hal yang sama.

6. Usaha Membatasi Kekuasaaan Pemerintah

Untuk menghindari kekuasaan pemerintah yang mutlak, maka dalam UUD 1945 telah diatur adanya pembatasan kekuasan pemerintah, yaitu :
  1. Presiden dan atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR. (pasal 7.A)
  2. Presiden tidak dapat membekukan dan atau membubarkan DPR. (pasal 7.C)
  3. Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. (pasal 7)
  4. Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain. (pasal 11 ayat 1)
  5. Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan DPR. (pasal 11 ayat 2)
  6. Presiden mengangkat duta dan konsul dengan memperhatikan pertimbangan DPR. (pasal 13)
  7. Presiden member grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan MA. (pasal 14 ayat 1)
  8. Presiden member amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR. (pasal 14 ayat 2)
  9. Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang (Perpu), yang harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan berikutnya. (pasal 22)
Untuk menjamin hak-hak warga negara dan hak asasi manusia, maka dalam UUD 1945 telah diatur sebagai berikut :
  1. Pasal 27 sampai dengan pasal 34 mengenai hak dan kewajiban warga negara.
  2. Pasal 28.A sampai dengan 28.J mengenai hak asasi manusia.

7. Dampak penyimpangan konstitusi terhadap sistem demokrasi di Indonesia

Penyimpangan terhadap konstitusi akan menyebabkan timbulnya krisis konstitusional, krisis konstitusional yang berlarut-larut akan menimbulkan krisis politik dan krisis politik yang berkepanjangan akan meluas ke dalam krisis dalam berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Dari penyimpangan-penyimpangan terhadap UUD 1945 yang pernah kita alami, maka dapat dirasakan pula dampak negatifnya terhadap kehidupan demokrasi dalam negara, antara lain :
  1. Hilangnya pembagian kekuasaan dan kekuasaan negara menjadi tumpang tindih bahkan bertumpu pada satu tangan, seperti pada tangan Presiden.
  2. Kedudukan dan fungsi lembaga-lembaga negara menjadi tumpang tindih menurut kehendak pemegang kekuasaan yang inkonstitusional.
  3. Hak asasi manusia dan hak warga negara menjadi terabaikan bahkan tidak dapat terjamin oleh negara.
  4. Kehidupan politik tidak stabil menimbulkan keamanan negara pun tidak stabil, sehingga pembangunan nasional praktis tidak dapat dilaksanakan dengan baik, bahkan melahirkan krisis di berbagai bidang.
  5. Ketidak-stabilan politik juga akan dapat dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok yang hendak memecah-belah keutuhan NKRI, seperti dengan mengadakan pemberontakan untuk merebut kekuasaan negara atau memisahkan diri dari bingkai NKRI.



No comments:

Post a Comment